Muchdi Akan Diputus Lepas

Tuesday, December 30, 2008



Sebelum penulis memulai pembahasan tentang Perkara Tindak Pidana dengan nama terdakwa Muchdi Pr, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak bertujuan untuk memberikan dukungan kepada siapapun (baik kepada Pihak Korban maupun Terdakwa). Tulisan ini hanyalah opini pribadi dari penulis.

Berikut ini adalah analisa hasil pemantauan pribadi dari penulis:
I. Pokok perkara
  • Motif terdakwa membunuh Munir, yaitu karena adanya rasa dendam, sakit hati terhadap korban. Motif ini dibantah oleh PH (Penasehat Hukum) dengan pernyataannya di dalam Pledoi bahwa dasar dari motif tersebut adalah perkataan dari Munir (sebelum dia meninggal) kepada Suciwati, bahwa orang yang paling sakit hati dengan adanya investigasi Munir tentang penculikan 13 aktivis adalah terdakwa. Pledoi dari PH tersebut tidak hanya sekedar menunjukkan bahwa keterangan dari Suciwati tidak dapat diterima dengan alasan de auditu tapi juga menunjukkan bahwa motif dendam dan sakit hati yang dinyatakan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) hanyalah karena firasat ataupun prasangka dari Munir.
  • Dalil bahwa karir terdakwa tamat setelah tidak menjabat lagi sebagai Danjen Kopassus. Fakta yang terungkap di persidangan menyatakan bahwa terdakwa tidak pernah diberhentikan dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus namun dialihtugaskan sebagai Wairjen TNI. Kemudian terdakwa diangkat menjadi Deputi V BIN.
  • Dalil bahwa terdakwa menjabat sebagai Danjen Kopassus pada saat terjadinya penculikan terhadap 13 aktivis yang dilakukan oknum Kopassus dengan nama Operasi Tim Mawar. Dalil ini berhasil dilemahkan oleh PH dengan adanya keterangan dari saksi Jasri Marin bahwa pada saat terjadinya penculikan, yang menjabat sebagai Danjen Kopassus adalah Prabowo Subianto.
  • Tentang hubungan telepon antara terdakwa dengan Pollycarpus. JPU di dalam persidangan hanya dapat membuktikan bahwa antara nomor telepon Muchdi dengan nomor telepon Pollycarpus telah terjadi komunikasi. Dalil bantahan dari PH antara lain: pertama, nomor telepon seluler bisa dikloning; kedua, alibi dari terdakwa bahwa pada tanggal 7 September 2004, terdakwa berada di Malaysia (dibuktikan dengan adanya passport yaitu terdakwa berada di Malaysia mulai dari tanggal 6-12 September 2004) sedangkan JPU menyatakan bahwa telah terjadi hubungan telepon antara nomor milik terdakwa (Bandara Djuanda, Surabaya) dengan nomor milik Pollycarpus (Pamulang, Jakarta).
  • Tentang pemberian uang dari terdakwa kepada Pollycarpus. JPU hanya membuktikan bahwa telah terjadi pemberian uang tersebut berdasarkan pada pembacaan BAP Budi Santoso dimana hal tersebut dibantah oleh Pollycarpus dan terdakwa. JPU juga gagal dalam membuktikan tentang apa tujuan dari pemberian uang tersebut, apakah untuk tindak pidana atau bukan.
II. Alat bukti
  • Adanya keberatan dari PH terhadap 4 orang saksi yang diajukan oleh JPU yaitu Suciwati, Hendardi, Pongky Indarti, dan Usman Hamid (menurut PH disebut sebagai saksi 4 serangkai) yang dianggap tidak layak bertindak sebagai saksi karena keterangan mereka hanya bersifat de auditu.
  • Keberadaan saksi Pollycarpus yang seyogyanya bertindak sebagai saksi a charge (membuktikan dalil dari JPU) malah bertindak sebagai saksi a de charge (meringankan dakwaan terhadap terdakwa).
  • Beberapa saksi yang diajukan oleh JPU memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan mereka di BAP dan akhirnya mencabut keterangan mereka di BAP.
  • Alat bukti surat berupa surat rekomendasi dari BIN kepada PT Garuda Indonesia tentang rekomendasi pengangkatan Pollycarpus menjadi aviation security di PT Garuda. Alat bukti ini dibantah oleh PH tentang keasliannya karena kloning surat yang ditunjukkan di persidangan hanya print out dan tidak terdapat tanda tangan atau cap yang mengesahkannya.
  • Alat bukti buku kas kuarto dibantah oleh PH bahwa catatan seperti itu hanya merupakan pengakuan sepihak dari saksi Budi Santoso, sehingga nilainya tidak lebih hanya untuk kepentingan si pembuat catatan saja.
  • Adanya saksi verbal lisan yang mana menurut Pasal 184 ayat (1) sub a jis Pasal 1 butir 27 dan Pasal 185 KUHAP tidak dapat digolongkan sebagai alat bukti yang sah.
  • Pembacaan BAP Budi Santoso oleh JPU dan telah mendapat persetujuan dari Majelis Hakim. PH mengajukan keberatan bahwa BAP tertanggal 8 Oktober 2007, 27 Maret 2008, dan 7 Mei 2008 diambil tanpa adanya sumpah terhadap Budi Santoso.
JPU melakukan beberapa kejanggalan di dalam persidangan kasus ini, yaitu:
  • Tuntutan terhadap Muchdi sebagai actor intelectualis lebih rendah dibandingkan masa pidana (tuntutan) terhadap Pollycarpus sebagai orang yang digerakkan. Hal ini mengundang protes dari para pendukung Munir (KASuM).
  • JPU dalam Bab Pembahasan Yuridis Surat Tuntutan terlalu mendasarkan analisanya pada Putusan PK MARI Nomor 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008 atas nama terpidana Pollycarpus dan tidak berusaha memberikan pembahasan yuridis yang lebih mendalam sehingga memberikan kesan bahwa JPU tidak berusaha secara maksimal dalam mengungkap kasus ini.
  • JPU juga tidak berusaha mendatangkan saksi-saksi yang bisa memberikan keterangan secara akurat (atau bahkan mungkin terlibat dalam perkara ini) seperti Hendropriyono yang pernah menjabat sebagai Kepala BIN pada saat terdakwa menjabat sebagai Deputi V BIN, dan mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto.
  • Seharusnya JPU menyadari bahwa sampai dengan detik ini, terpidana Pollycarpus masih beranggapan bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Munir (walaupun telah ada vonis dari MA). Dengan kata lain, JPU tidak seharusnya menghadirkan Pollycarpus ke depan persidangan karena hanya akan memberikan keterangan yang meringankan kepada terdakwa.
Berdasarkan beberapa analisa di atas, dapat dilihat bahwa pihak dari terdakwa berada di atas angin karena berhasil memberikan argumen hukum dan menyajikan fakta pembelaan yang melebihi JPU. JPU sendiri tidak memberikan argumen balasan yang cukup terhadap dalil yang dikemukakan oleh PH, dengan kata lain JPU bersikap lebih defensif dan hanya berusaha untuk terus menerus menekankan kepada Hakim bahwa dalil yang mereka kemukakan adalah benar.

Dalam kondisi seperti ini, maka penulis berkesimpulan bahwa di dalam persidangan Perkara Tindak Pidana dengan nama terdakwa Muchdi Pr, pada tanggal 31 Desember 2008 dengan agenda Pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim, terdakwa Muchdi Pr akan divonis Lepas atau Bebas dari segala tuntutan pidana.

Elpiji Untuk Masyarakat

Monday, December 22, 2008

Salah satu isu yang hangat dewasa ini adalah langkanya atau kurangnya pasokan elpiji dari Pemerintah kepada warga masyarakat di beberapa daerah Indonesia, termasuk Jakarta.

Berbagai pendapat muncul berkaitan dengan masalah ini. Di antaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh pihak Pertamina yang mengatakan bahwa kelangkaan tersebut disebabkan adanya keterbatasan infrastruktur Pertamina dalam pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Pendapat lain mengatakan bahwa kelangkaan tersebut disebabkan adanya penumpukan tabung elpiji oleh pihak yang tidak bertanggungjawab demi mencari keuntungan pribadi. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa Pemerintah belum mampu melayani permintaan atas elpiji yang meningkat pesat dibandingkan beberapa bulan sebelumnya.

Pernah suatu kali gw sedang ngobrol dengan seorang teman, salah satu topiknya adalah tentang pasokan elpiji yang langka. Dia berkata bahwa tetangganya sudah satu minggu tidak bisa masak, karena elpiji-nya habis, sehingga tetangganya tersebut terpaksa membeli makanan dari warung di dekat rumahnya.

Nah, hal yang ingin gw komentari adalah ..............

Teman-teman sekalian pasti pernah lihat iklan yang dibintangi oleh Dik Doank dan disampaikan oleh Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi. Inti dari iklan tersebut adalah sebagai sarana kampanye Pemerintah tentang hematnya elpiji dibandingkan dengan minyak tanah (tujuannya adalah agar masyarakat Indonesia beralih dari minyak tanah ke elpiji)

Ketika iklan ini pertama kali muncul, distribusi elpiji masih dalam keadaan normal. Lalu terjadilah kelangkaan elpiji. Gw pernah berkata kepada teman gw kalau pemerintah tidak akan berani lagi menyiarkan iklan tersebut.

Lalu pada suatu malam (sekitar tanggal 20 Desember 2008), ketika gw dan temen gw itu lagi menonton sebuah film di televisi kantor, tiba-tiba iklan yang gw bicarakan di atas muncul kembali di layar televisi. Tentu saja gw kaget, bagaimana mungkin sebuah iklan “kampanye” pemakaian elpiji tetap ditayangkan oleh Pemerintah dalam kondisi kelangkaan elpiji seperti saat ini? Bagaimana mungkin pula Pemerintah tutup mata dengan kejadian tersebut dan tetap berani mengatakan “Sebaiknya masyarakat beralih dari penggunaan minyak tanah ke elpiji”. Hal ini sama saja dengan PEMBODOHAN MASSAL.

*Catatan:
Teman-teman sekalian tahu tidak mengapa iklan layanan masyarakat (iklan dari Pemerintah) biasanya sangat gencar muncul di akhir tahun dan bukan pada awal tahun?

Jawabannya adalah karena setiap Departemen Pemerintah ingin menghabiskan anggaran belanja mereka yang tersisa (anggaran tersebut diperoleh dari APBN), karena apabila mereka tidak menghabiskan maka anggaran belanja Departemen tersebut akan dipotong untuk tahun berikutnya.

KTP Sebagai "Tiket" Sidang

Sunday, December 21, 2008


Ini adalah pengalaman pribadi gw ketika mendapat tugas pengamatan sidang Muchdi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Persidangan ini adalah sebuah persidangan yang sangat yang mendapat perhatian dari pihak pers karena terdakwa-nya adalah Mantan Danjen Kopassus, korbannya adalah aktivis HAM, dan kasus ini mendapat perhatian dari pihak luar negeri.

Di suatu pagi, sekitar bulan Agustus 2008, gw berangkat dari Depok untuk menjalankan tugas tersebut. Setelah lebih kurang 1 jam, akhirnya gw nyampe juga di PN tersebut. Jujur pada awalnya gw sedikit terkejut melihat pengamanan yang sangat ketat dari Pihak Kepolisian mulai dari depan pintu gerbang sampai ke pintu masuk PN, tetapi sesuai dengan alasan yang sudah gw nyatakan di awal, bahwa kasus ini bukanlah kasus yang sembarangan maka fenomena tersebut sangat masuk di akal.

Ketika melewati pintu gerbang PN, gw diberhentikan oleh tiga anggota kepolisian yang meminta gw untuk membuka jaket yang masih gw pake saat itu. Lalu mereka juga meminta gw untuk membuka tas dan menunjukkan isinya. Kemudian mereka meminta agar gw menunjukkan kartu identitas (KTP/SIM). Gw yang hingga saat ini belum memiliki KTP dan SIM (karena hilang di angkutan umum), memberikan alasan bahwa lupa membawa kedua kartu identitas tersebut. Mereka memandangi gw dan kemudian terjadilah percakapan antara salah satu dari petugas tersebut (yang pangkatnya lebih tinggi dibandingkan dua petugas lainnya) dengan gw, lebih kurang sebagai berikut:

Polisi (Pol) : Anda gak boleh masuk pengadilan kalau gak bisa nunjukin kartu identitas.

Gw : Kenapa gak boleh Pak? Emang ada kewajiban untuk nunjukin kartu identitas kalau ingin melihat sidang?

Pol : Anda gak boleh masuk soalnya anda ini tidak jelas.

Gw : Tidak jelas gimana pak. Saya kan cuma ingin lihat sidang, bukan mau buat rusuh, saya juga gak bawa apa-apa selain alat tulis. Di hari-hari sebelumnya, saya gak pernah diharuskan untuk bawa KTP untuk masuk ke pengadilan. Saya sama sekali belum pernah denger kalau masuk pengadilan harus bawa KTP, aturan darimana itu?

Pol : Pokoknya anda tidak boleh masuk. Di dalam udah banyak orang, mendingan anda pulang aja.

Ketika gw masih ingin mendebat petugas tersebut, tiba-tiba kedua petugas lainnya sudah menarik gw sampai ke luar gerbang.

Terus terang saat itu gw gondok banget dengan perlakuan yang gw terima. Padahal sebagai dapat diketahui bahwa salah satu asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah bahwa:

“Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.”

Dari asas tersebut sudah jelas bahwa sebuah persidangan itu WAJIB TERBUKA UNTUK UMUM dan bukan hanya untuk orang-orang tertentu (seperti mempunyai kartu identitas).

Hal lain yang membuat kekesalan gw bertambah adalah:
1. Pemeriksaan identitas terhadap pengunjung sidang tersebut hanya dilakukan apabila di sekitar pintu gerbang ada wartawan/reporter yang meliput tentang ketatnya penjagaan sidang tersebut. Hal ini terbukti ketika gw datang ke persidangan kasus yang sama pada hari-hari sesudahnya (setelah insiden di atas) sama sekali tidak ada pemeriksaan identitas pengunjung, bahkan pemeriksaan terhadap tas dan tubuh pengunjung sidang juga hanya sekedarnya saja.

2. Adanya diskriminasi perlakuan antara pengunjung sidang biasa dan pengunjung sidang yang mengenakan jas (berpakaian rapi dan necis), karena pengunjung sidang dengan pakaian yang “wah” dibiarkan masuk ke Pengadilan tanpa diperiksa terlebih dahulu.

3. Penjagaan yang sangat ketat dari pihak Polisi di sebuah pengadilan hanya dilakukan pada hari-hari tententu saja, yaitu pada hari diadakannya persidangan untuk kasus-kasus yang besar saja.

Jujur, gw kesel bukan karena gw gak bisa ngelihat persidangan, tapi karena seorang Polisi (yang notabene adalah seorang aparat penegak hukum) menerapkan suatu aturan yang tidak ada dasar hukumnya sama sekali. Bagaimana jadinya sebuah negara yang katanya berdasarkan atas hukum, apabila aparat hukumnya saja tidak mengerti hukum dan hanya bisa bertindak atas dasar perintah yang diterima dari atasannya. Benar-benar menyedihkan...

Akhirnya....

Alhamdulillah, akhirnya kesampean juga niat gw bikin blog (kemana aja gw selama ini ya?? hehe)...

Harapan gw dengan adanya blog ini, bisa menjadi wadah untuk mencurahkan isi pikiran gw, pengalaman, dan berbagi segala hal dengan teman2 semua. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya adalah semoga blog ini bisa bermanfaat untuk gw pribadi dan semua orang yang membacanya, Aminn...

Weitss, hampir terlupakan, terimakasih sebesar2nya bwt teman gw yang sudah mau mengajarkan cara membuat blog (maafkanlah temenmu yang gaptek ini ^^)...

Regards,

Lumos_Nox