Fatwa Haram MUI

Wednesday, February 11, 2009


MUI (Majelis Ulama Indonesia) kembali membuat “sensansi”, setelah fatwa haram atas Ahmadiyah, MUI kembali mengharamkan Golongan Putih (Golput) dan Merokok*. Kedua fatwa ini banyak mendapatkan sorotan dari media dan seluruh rakyat Indonesia. Ada pendapat yang pro dan tidak sedikit juga yang kontra dengan fatwa tersebut.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat kedua fatwa ini secara teliti:

I. Fatwa bahwa Golput Haram
Pengertian dari Golput itu sendiri adalah sekumpulan orang yang tidak memilih di dalam suatu pemilihan (secara khusus dalam koridor Pemilu). Cara-cara yang dilakukan bisa dengan cara tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau dengan cara datang ke TPS tapi sengaja merusak surat suaranya sehingga suara yang diberikan tidak sah.

Saya juga ingin membatasi pembahasan ini, Golput yang saya maksudkan disini adalah orang-orang yang telah terdaftar sebagai pemilih akan tetapi dengan kesadarannya sendiri memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya; bukan orang-orang yang dalam keadaan terpaksa (terhalang pekerjaan, sakit, dll) tidak dapat menggunakan hak suaranya.

Alasan-alasan yang pada umumnya menyebabkan seseorang memilih untuk menjadi Golput adalah:
  • Tidak ada partai politik (parpol) atau calon pemimpin yang layak untuk dipilih
  • Bosan dengan janji-janji yang diberikan oleh parpol dan calon pemimpin di dalam masa kampanye yang selalu dilupakan ketika nantinya mereka terpilih.

Negara Indonesia sebagai negara yang (katanya) menganut demokrasi dimana pemerintahan dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat telah menunjukkan bahwa kekuasaan tertingi dari negara ini adalah rakyat, bukan Presiden, bukan Ketua DPR, apalagi MUI. Pemilu pada intinya bertujuan untuk memilih siapa yang berhak untuk mewakili rakyat dalam pemerintahan. Dengan kata lain rakyat BERHAK untuk memilih siapa saja sebagai wakilnya di pemerintahan. Hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atas sesuatu, atau untuk menuntut sesuatu. Sifat dasar dari sebuah hak adalah boleh digunakan ataupun tidak.

Di dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan bahwa “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”. Dapat kita lihat sendiri bahwa redaksional yang digunakan oleh UU ini adalah hak bukan kewajiban. Dengan demikian penggunaan hak tersebut 100% menjadi milik dari si pemilik hak.

Sebagai sebuah hak yang diatur secara tegas oleh undang-undang sudah selayaknyalah hak tersebut dihargai dan penegakannya harus dijamin oleh Pemerintah. Akan tetapi, sayangnya di dalam undang-undang ini tidak diatur sanksi terhadap pelanggaran hak tersebut.

Fatwa MUI yang mengharamkan Golput adalah sebuah bentuk tindakan yang sangat tidak terpuji. Tidak selayaknya sebuah organisasi yang mengatasnamakan ULAMA malah berbalik menjadi sekumpulan orang yang bodoh yang tidak bisa membedakan antara HAK dan KEWAJIBAN. Golput adalah sebuah pilihan untuk tidak memilih (tidak menggunakan hak-nya) dan hal itu tidak bisa kita pungkiri.

II. Fatwa Merokok Haram
MUI mengharamkan rokok dengan catatan:
1. apabila dilakukan oleh anak di bawah umur
2. apabila dilakukan oleh ibu yang sedang hamil
3. apabila dilakukan di tempat umum

Hal yang penting untuk mendapatkan catatan khusus adalah alasan mengapa MUI mengharamkan rokok. Dari 3 klasifikasi di atas dapat dilihat sebagai berikut:
  • Anak di bawah umur dilarang untuk merokok karena tubuhnya belum cukup kuat untuk menahan efek samping dari rokok.
  • Ibu yang sedang hamil haram merokok karena bisa menimbulkan efek samping terhadap janinnya.
  • Merokok haram di tempat umum karena bisa menyebabkan orang lain ikut menghirup asap rokok yang dapat merugikan kesehatan tersebut.
Secara logika dapat dilihat bahwa alasan MUI mengharamkan rokok adalah karena rokok berakibat buruk terhadap kesehatan. Akan tetapi menjadi sangat aneh jika MUI menfatwakan haram rokok hanya kepada orang-orang yang berada dalam 3 golongan di atas.

Lalu bagaimana dengan sebuah contoh kasus dimana ada seorang pria dewasa merokok di rumahnya (tidak di tempat umum). Menurut MUI hukumnya hanya makruh. Hal yang menjadi pertanyaan adalah “apakah rokok dalam contoh kasus tersebut dapat menimbulkan efek samping apapun (buruk bagi bagi kesehatan) terhadap pria tersebut? Jawabannya tentu saja "iya". Jika memang begitu, mengapa MUI tidak mengeluarkan fatwa "Mengkonsumsi gula haram bagi penderita diabetes" atau "Membaca Al Qur'an haram apabila dilakukan di tempat gelap karena bisa berakibat buruk terhadap mata si pembaca".

Lalu mengapa MUI “pilih kasih” terhadap fatwa-nya? Apa karena masih banyaknya para ulama yang berkedudukan di dalam MUI merupakan perokok juga, sehingga mereka tidak ingin menjadi seorang pendosa seperti orang-orang yang sudah mereka jadikan pendosa dengan fatwa-fatwa mereka.

Dengan adanya fatwa ini, MUI seolah-olah membongkar kebobrokan mereka sendiri. Memang lebih mudah menjadi kesalahan orang lain dibandingkan menginstrospeksi diri sendiri. Seperti kata pepatah “kutu di seberang lautan terlihat jelas, gajah di pelupuk mata tak kelihatan”.


Di akhir kata, saya memberikan pilihan bebas kepada anda semua. Apakah anda ingin mematuhinya atau tidak. Itu semua pilihan anda. Karena pada dasarnya Hidup itu Adalah Pilihan ^^


* : Merokok bagi anak-anak di bawah umur; ibu yang sedang mengandung; dan merokok di tempat umum.

1 comments:

Anonymous said...

kalo emang masi ngerokok terus berani ngejogrog di MUI mah mendingan turun deh..asli !!

sampe sekarang gw masih percaya bahwa yang namanya ulama ato pemimpin yang islami ga bakal nyentuh yang makruh sekalipun...ya liat aja jadinya, MUI jadi ngeluarin fatwa2 aneh yg setengah2 ga jelas kan..

makanya...kayak gw dong... ngeroko mah ngeroko aja.. dosa ya dosa aja..jgn ngajak2 n jgn bagi2 dosa..nikmati sendiri dosa n rokok lu... ^__^